Cinta di tengah badai

Chapter 3: Affair with Papa



Trisya melepaskan ciumannya, memandang Richard yang menatapnya dengan tenang. Ariana tidak ada, dia sepertinya shock dan langsung meninggalkan rumah itu.

"Papa.. Maaf, aku sudah tidak sopan," wajah Trisya terlihat menyesal.

"Bagaimana kamu sanggup melakukan hal yang menyakiti mama kamu? bahkan sakitnya mungkin melebihi disayat pisau yang baru diasah."

Trisya tak menjawab.

"Istirahatlah.. sepertinya kamu memang sedang sakit."

"Aku tidak sakit! Aku memang menyukai papa!" ucap Trisya tiba-tiba.

Richard menoleh.

"Hingga usiaku 25 tahun tidak ada lelaki baik di dekatku."

"Robby bukannya lelaki yang baik?"

"Tapi dia tidak bisa menjadi sosok ayah buatku.." Trisya menunduk. "Aku rindu sosok ayah yang baik. Tapi suami wanita itu tak satupun yang bisa disebut ayah! Iblis! Itu lebih tepatnya buat mereka! Awalnya aku berpikir kalau papa juga sama seperti mereka. Papa juga akan membuat hidupku seperti di neraka. Tapi ternyata aku salah. Papa berbeda. Papa menghargai aku begitu tinggi, papa menyayangi aku, melindungi dan menjagaku.." air mata Trisya mengalir membasahi pipinya.

Ia berjalan menghampiri Richard.

"Satu yang aku sesali, kenapa tidak pulang 6 tahun yang lalu.. Mungkin aku bisa bertemu denganmu lebih cepat dibanding mama sehingga tidak harus memanggilmu papa.."

"Trisya, kamu sadar apa yang kamu katakan?"

"Tidak apa jika papa tidak membalas perasaanku.. Yang penting papa tahu kalau aku cinta sama papa."

"Jangan membuat semua jadi kacau, Trisya."

"Apakah cinta itu dosa?"

"Aku ini ayahmu, Trisya. Apa yang tadi kamu lakukan di depan mama saja sudah salah.."

"Papa kan bukan ayah kandungku?" Trisya menatap Richard.

"Istirahatlah.." Richard berbalik.

"Papa.." Trisya langsung memeluk Richard dari belakang, melingkarkan tangannya di dada Richard.

"Trisya, jangan seperti ini.."

"Aku pikir punggung Robby adalah tempat ternyaman untuk bersandar, ternyata punggung papa jauh lebih nyaman.."

"Aku suami ibumu, Trisya.." Richard mengingatkan.

"Aku tahu.." Trisya mendekap Richard lebih erat.

Richard bisa merasakan tubuh anak tirinya itu menempel begitu rapat. Ia juga bisa merasakan tangan Trisya mengusap lembut dadanya, mencoba membangkitkan birahi lelaki itu.

"Papa.. kenapa jantungmu terasa berdebar?" bisik Trisya. "Papa juga merasakan apa yang kurasakan?"

Richard melepaskan pelukan Trisya.

"Perempuan itu..Bagaimana papa bisa jatuh cinta padanya? Dia bukan orang yang baik.."

Richard memandang Trisya.

"Kamu tidak harus melakukan hal bodoh hanya untuk membuat mama kamu sakit hati, Trisya.."

"Aku tidak melakukan hal yang bodoh, hanya mengakui perasaan pada papa dengan jujur. Sesetia itukah papa pada mama?" Trisya menatap mata Richard.

"Robby akan kecewa dengan apa yang kamu katakan ini!"

"Robby tidak perlu tahu, cukup aku, papa dan Tuhan saja yang tahu.."

"Apa?"

"Pa.. Dunia tidak akan kiamat meski papa meniduriku. Masih banyak perbuatan dosa lain diluar sana yang masih diberikan ampunan oleh Tuhan."

"Sadarkah kamu dengan apa yang sedang kamu lakukan saat ini?" tanya Richard.

"Aku tidak mengira kalau papa adalah lelaki yang menarik hatiku.."

"Tetaplah jadi putriku selamanya!"

Trisya tersenyum sambil menatap mata Richard tak berkedip.

"Papa tidak pintar berbohong.. Papa menginginkanku kan? Aku merasakan jantung papa berdetak lebih kencang saat aku memeluk papa.."

Richard menatap wajah Trisya. Memang tidak bisa dipungkiri, betapa cantiknya wajah putri sambungnya ini, merasakan betapa halusnya kulit putih bersih dari lengan Trisya yang dikalungkan ke lehernya dan menyentuh kulit Richard

Mendengarkan nafas Trisya di telinganya membuat iman terasa lemah.

"Kenapa aku baru menyadari betapa tampannya lelaki yang harus aku panggil papa ini? Di usia papa, tubuh papa tidak kalah bagusnya dibanding lelaki muda di luar sana.." bisik Trisya.

Trisya menarik tangan Richard untuk menggerayangi tubuhnya.

"Tidakkah papa menginginkanku?" Trisya sengaja meletakkan jari Richard tepat di dadanya.

"Aku menginginkanmu, Pa.." bisik Trisya.

Richard tak kuasa lagi untuk menolak. Naluri laki-lakinya sudah tak bisa menahan birahi yang mulai naik. Ia mendorong Trisya ke dinding, tak sanggup menahan godaan putrinya untuk tak mendaratkan ciuman di bibir gadis itu.

"Papa.." Trisya diam membiarkan pria itu melumat bibirnya.

Tak merasa cukup Richard menggendong tubuh Trisya ke kamar, menjatuhkannya di atas ranjang.

Trisya pun tak terlihat menunjukkan perlawanan, memasrahkan suami ibunya itu menuntaskan semuanya dengan membiarkan lelaki itu melepas satu persatu pakaiannya jatuh ke lantai.

"Pa.." panggilan Trisya membuyarkan lamunan Richard.

"Ya.." Richard memandang Trisya.

"Aku tidak pernah merasakan mandi hujan seperti itu, Pa.." ucap Trisya lirih. "Rasanya bahagia.."

Richard turun dan membukakan pintu mobil untuk Trisya.

"Apa lagi? Ayo turun."

"Tadi aku digendong bang Ardi dipunggungnya.. Ternyata nyaman sekali. Pantas banyak anak-anak menyukainya.."ucap Trisya. "Bang Ardi bilang.. Minta gendong sama papa saja."

Richard memandang Trisya.

"Lalu?"

"Papa tidak mau menggendongku seperti yang dilakukan bang Ardi?"

"Ayo, Trisya.. Ini sudah malam. Masuklah dan mandi. Nanti kamu sakit."

"Ah, bapak ini tidak tahu cara memberikan aku hal yang tak kudapat saat anak-anak".

"Naiklah.." kata Richard.

"Terpaksa sekali.."

Richard tersenyum.

"Ayo,nak.."

"Papa.." Trisya langsung naik ke punggung Richard.

"Aku sayang sekali padamu, Pa.. Kau bisa menjadi segalanya bagiku. Jadi papa yang kurindukan, jadi kekasih yang kuinginkan, jadi sahabat yang kucari.." Trisya menyandarkan kepalanya di pundak Richard. "Hanya satu yang tak bisa.. menjadi suami yang aku impikan."

Richard tak menjawab.

"Turunkan aku pa.." kata Trisya saat hendak menaiki tangga.

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa," Trisya turun.

"Kamu tidak memakai sepatu?" tanya Richard.

Trisya memandang kakinya.

"Di mobil bang Ardi.. Aku lupa. Besok papa ambil ya? Itu sepatu kesayanganku."

"Ok.."

"Aku mandi dulu.." Trisya berlari menaiki tangga.

Richard tersenyum tipis sambil menyusul Trisya.

Richard membuka pintu kamar. Melihat Trisya yang beberapa kali bersin.

"Kenapa?"

"Sepertinya mulai flu. Oya, Tadi aku ditraktir bang Ardi," cerita Trisya.

"Bang Ardi? Sejak kapan kamu memanggilnya abang?"

"Malam ini... Dia lebih tua dariku kenapa dia harus memanggilku kakak?" jawab Trisya.

"Oh.."

"Papa tidak marah? Aku hari ini menghabiskan beberapa jam dengan bang Ardi?"

"Istirahatlah.."

"Papa kemana?"

"Pulang.. Mama sedang tidak enak badan."

"Aku juga tidak enak badan.."

"Kalau kamu tidak keluar dan bermandi hujan dengan pakaian minim begitu, kamu tidak sakit!"

"Ah, Papa ini..!" Trisya langsung naik ke tempat tidur.

"Istirahatlah! Kalau besok masih tidak enak badan, minta lisa mengantarmu ke dokter."

"Kenapa bukan papa?"

"Papa besok mengantar mama.. Istirahatlah."

"Aku menikah saja dengan bang Ardi!" kata Trisya.

"Apa?"

"Biar ada yang memperhatikan dan menjagaku ketika sakit."

"Tidak usah menambah masalah!"

"Masalah itu ada jika dengan papa..!"

Richard tak menjawab. Ia berjalan keluar.

Trisya tersenyum.

"Aku suka membuat otakmu berputar memikirkanku lalu meninggalkan mama.."

***

"Pagi. ." sapa Taufan.

"Bang Taufan.." sapa Andika.

"Pak Richard ada?"

"Belum ke kantor bang, ibu sakit.."

"Oh.. Ibu sakit apa? Dengar-dengar ibu sekarang jarang terlihat?" tanya Taufan.

"Iya.. Tidak tahu juga bang, hanya sekarang katanya gampang lelah".

"Ardi mana?" tanya Taufan.

"Tuh.." tunjuk Dika.

"Ardi.." sapa Taufan.

"Taufan, ada apa?"

"Kapan kita mancing?"

"Lusa boleh.. Ada apa kesini?"

"Mencari pak Richard.."

"Oh, bapak mengantar ibu ke dokter".

"Kemarin aku bertemu pak Richard dan anak perempuannya.. Trisya. Ternyata Trisya dosen satu kampus dengan istri pak Yacob.."

"Oya?"

"Sempit sekali dunia ini ya.."

"Ardi.." seorang wanita masuk."Ini kunci mobilmu. Terimakasih ya.."

"Ya, Kak.."

"Eh.. Kau sudah punya pacar?"

"Belum.. kenapa kak?"

"Kenapa ada sepatu perempuan dalam mobilmu?"

"Masa?"

"Kemana kau tadi malam? Jangan nakal ya?"

"Tidak kok, Kak Tari.. Mungkin sepatunya anak pak Richard. Tadi malam saya menjemput dia pulang".

"Anak Pak Richard yang mana? Tiara kan sekolah di Australia.. Itu sepatu wanita dewasa loh? Sepatu hak tinggi mahal pula".

"Anak pertama pak Richard.. Kan Trisya pernah kesini?"

"Terus dia lepas sepatu dan pulang ke rumah tanpa alas kaki? Begitu?"

"Tadi malam kan hujan.. Mungkin dia takut jatuh menggunakan hak tinggi itu."

Tari memandang Ardi dari dekat.

"Kau pacaran dengan anaknya pak Richard?"

"Tidak.."

"Pak Richard tahu?"

"Apa sih kak?"

"Trisya calling you.." Tari membaca telphon yang masuk di handphone Ardi.

"Hallo.."

"Bang Ardi, sepatuku tertinggal di mobilmu.."

"Ya.."

"Nanti titip ke papa ya?"

"Ok.."

"Terimakasih, bang.. O iya, abang tidak sakit kan?"

"Tidak".

"Aku sakit.. hiks."

"Semoga cepat pulih."

"Ya Tuhan, kaku sekali abang ini," Trisya menutup telponnya.

Tari tertawa.

"Kenapa kak?"

"Kapan kau menikah?"

"Calonnya belum ada kakak.."

"Halah.. Putri pak Richard bukannya pacarmu?"

"Ya Tuhan tidak percaya kakak ini.."

"Awas.. jangan sampai ada something tadi malam di dalam mobil. Ketahuan pak Richard habis kau.." Tari tertawa sambil keluar.

"Kak.. jangan bikin gosip kemana-mana!"

"Amaaaan," janji Tari.

Andika dan Taufan memandang Ardi.

"Kenapa kalian? Terpengaruh cerita kak Tari yang entah dari mana sumbernya? Dia merangkai sendiri cerita hanya karena sepatu".

Dika dan Taufan tertawa.

"Kau berani bermain dengan Trisya? Ketahuan pak Richard bahaya," Dika mengingatkan.

"Kenapa memangnya? Pak Richard bukannya dekat dengan Ardi? Bagus dong dijadikan menantu?" tanya Taufan.

"Gak papa.." kata Dika. "Cuma kan pak Richard over protected dengan anak gadisnya".

"Pak Richard menikah umur berapa? Trisya 25 tahun kan?" tanya Taufan.

"Ada apa?" tanya Richard.

"Eh, Pak Richard sudah datang..?" sapa Taufan.

"Taufan?"

"Katanya ibu sakit, pak?"

"Ya, Tekanan darah sedikit tinggi.. Ada apa, Taufan..?"

"Ada yang mau saya bicarakan, pak.. Jika ada waktu".

"Masalah apa?"

"Tidak ada hubungan dengan pekerjaan sih, pak.. "

"Oh, nanti saja kalau begitu. Saya sebentar lagi mau keluar."

"Baik, Pak.."

Taufan memandang Ardi dan Dika.

"Wajahnya tidak enak.."

"Jauh-jauh dulu bang.."

"Tapi aku penasaran.."

"Penasaran apa?"

"ah, tidak.. bye semua," Taufan keluar.

"Hati-hati bicara, Dik.." tegur Ardi.

"Iya.. Aku tak bermaksud apa-apa. Memangnya tadi malam kamu kemana dengan Trisya".

"Tidak ada.. hanya menjemput dia pulang karena diganggu Doni, tetangga ibuku."

"Tidak ada kisah lain?" tanya Dika.

Ardi diam berpikir.

"Tidak.."


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.