Cinta di tengah badai

Chapter 4: Ada apa denganmu



"Kenapa berpikir hanya untuk menjawab tidak?" tanya Dika.

"Tidak apa-apa."

"Jangan bilang kau tertarik pada wanita itu".

"Mana aku berani?"

Pintu ruangan itu diketuk sebelum dibuka.

Ardi dan Dika menoleh.

"Trisya?" sapa Ardi.

Trisya melangkah masuk.

"Kak.." sapa Dika. "Mencari bapak? Bapak keluar."

"Tidak.." Trisya melangkah masuk.

"Boleh aku duduk?"

"Silakan.." kata Ardi.

"Aku mau ambil sepatu."

"Lho.. Katanya nitip ke Papa?" tanya Ardi.

"Papa hari ini sibuk sekali.. Sedangkan aku mau pakai sepatunya.."

"Sepatumu bukannya banyak?"

"Tapi itu yang paling aku suka.. nyaman dikaki. Aku membelinya ketika jalan jalan ke spanyol."

"Jauh sekali membeli sepatu.. Di sini banyak produk lokal yang bagus, harga lebih terjangkau dan kualitas juga bagus," timpal Dika.

Trisya memandang Dika.

"Maaf, kak.."

Trisya mengalihkan pandangan pada Ardi.

"Buruan bang.."

"Saya selesaikan ini sebentar. Nanti papamu marah."

"Sebentar saja.." Trisya menarik Ardi agar berdiri.

"Kemarin kenapa ditinggal kalau memang sepatu kesayanganmu?" tanya Ardi.

"Abang ini sudah mirip papa," gerutu Trisya. "Banyak sekali pertanyaannya. Aku bukan kriminal yang berbuat kesalahan!"

"Ambil sendiri.. Aku sedang sibuk," Ardi memberikan kunci mobilnya.

"Ya Tuhan, berani sekali kau memerintahku, bang..?"

"Perempuan ini.." bathin Ardi.

"Kenapa memandangku?" tanya Trisya. "Aku tahu aku cantik."

"Tunggu sebentar Dik".

"Ya.."

Ardi segera berjalan keluar ruangan.

Trisya tersenyum sambil mengikuti.

"Jalanmu cepat sekali, bang.. Apa tidak bisa pelan-pelan ?"

Ardi tak menjawab.

"Bang Ardi.." panggil Trisya.

"Nanti dilihat orang. Tidak enak."

"Memang kenapa kalau dilihat orang?"

"Tidak apa-apa.."

Trisya tersenyum.

"Kau takut dituding tidak sopan pada anak pak Richard kan?" ejek Trisya.

Ardi menghela nafas. Ia menghentikan langkahnya.

"Mau kamu apa, Trisya?"

"Abang ini curiga sekali padaku."

"Ini.." kata Ardi sambil mengeluarkan sepatu itu dari dalam mobilnya.

"Terimakasih, bang.." Trisya tersenyum. "Nanti malam ku traktir ngopi ya bang?"

"Maaf, sepertinya tidak bisa.."

"Ayolah, bang.."

"Next time saja."

"Besok?"

"Aku keluar kota dengan bapak."

"Lusa?"

"Mancing dg Taufan."

"Astaga, padat sekali jadwalmu bang.. melebihi papa."

"Ok, hati-hati di jalan. Saya mau lanjut kerja."

"Bang Ardi," panggil Trisya.

Ardi menghela nafas.

"Ada apa lagi?"

"Kenapa ekspresimu begitu?"

Ardi memandang Trisya.

"Cepat, mau bilang apa? Jangan membuang waktu!"

"What??"

Ardi menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ok, Saya balik ke ruangan."

"Jadi pertanyaanku kemarin bagaimana, bang?" tanya Trisya.

"Pertanyaan apa?" Ardi menoleh.

"Masa lupa?" Trisya menghampiri Ardi.

"Pertanyaan yang mana?"

"Kapan kita nikah, bang?" suara Trisya terdengar lantang sehingga beberapa orang yang berdiri di lapangan itu menoleh.

"Astaghfirullah.." Ardi langsung menutup mulut Trisya. "Suaramu kencang sekali!"

"Mmm.." Trisya menggigit tangan Ardi yang langsung melepaskan tangannya.

"Kamu..?"

"Aku bilang papa ya.. Kalau seorang anggota pak Richard berani menutup mulutku!" Trisya melambaikan tangannya sembari meninggalkan tempat itu.

Ardi hanya bisa tercengang melihat Trisya yang masuk ke dalam mobilnya dan berlalu.

Melihat beberapa orang yang memandangnya, dan salah satunya adalah Tari.

"Hati-hati, Ardi.. Nanti dia mengadu pada papanya kalau kau tidak mau menikahi dia, habis kau nanti dibantai pak Richard.." Tari tertawa.

"Dia hanya bercanda kak.. Tanya Dika. Trisya memang kadang ngomong sesuka hatinya," Ardi segera meninggalkan tempat itu.

"Lho, tadi itu anak pak Richard?"

"Anak bu Ariana. Sejak lulus SMA katanya kuliah di luar negeri sampai master."

Ardi masuk ke ruangan. Ia duduk di ruangan.

"Ada apa?" tanya Dika.

"Trisya itu susah ditebak. Dia melakukan semua hal yang dia mau sesuka hatinya," gerutu Ardi.

"Memang apa yang dia lakukan?"

"Dia berteriak di arah pintu masuk dekat parkiran.. Katanya, Kapan kita nikah Bang? Aku terpaksa menutup mulutnya. Dia malah menggigit tanganku."

Dika tertawa

"Jangan tertawa."

"Tidak rabieskan?"

Ardi memandangi tangannya.

"Tidak, tapi bekasnya lumayan."

Pintu ruangan itu dibuka. Trisya melangkah masuk.

"Trisya? Ada apa lagi?" tanya Ardi

"Handphone ku tinggal di meja mu, bang."

"Ini?"

"Ya.." Trisya meraih handphone dari tangan Ardi. "Maaf aku tadi menggigit tanganmu, bang. Habis kau membuatku sesak nafas.."

Ardi hanya tersenyum tipis.

"Dia langsung mencuci tangannya, takut kakak rabies," kata Dika.

"Apa? Kau keterlaluan sekali bang," Trisya merengut. "Papa kemana? Biar aku laporkan."

"Tadi keluar.." jawab Ardi.

"Coba kulihat tanganmu," kata Trisya.

"Tidak usah. Bukan masalah."

"Digigit wanita jadi-jadian saja dia pernah, tidak sakit buatnya," ucap Dika.

"Tadi katamu buru-buru, kenapa masih disini?" tanya Ardi.

"Ya Tuhan, dia mengusirku."

"Jika tidak ada kepentingan, boleh keluar ruangan mbak?"

"Kaku sekali dia ini.. Pasti hidupmu tak berjalan indah."

"Nanti aku cari istri bernama indah agar hidupku indah."

Dika tertawa.

Trisya langsung menoleh pada Dika.

"Maaf kak.." kata Dika.

"Kau bukannya seumuran denganku? Kenapa memanggilku kakak?"

"Panggilan sopan saja, kak.."

"Sudahlah, aku pulang.. Nanti aku diusir bang Ardi lagi.." Trisya berjalan membuka pintu.

Melihat 2 orang lelaki hendak masuk ke ruangan itu bersama Taufan ia tersenyum.

"Eh, Trisya.." sapa Taufan.

Trisya menoleh pada Ardi, dan tersenyum sinis.

"Bang.. Baju kaos mu, masih di rumahku ya? Telpon saja nanti kalau kau mau mengambilnya.."

Ardi yang sedang minum langsung terbatuk.

Trisya menjulurkan lidahnya mengejek Ardi sebelum berlalu.

"Ini tak bisa dibiarkan.. Nanti ceritanya jadi lain," Ardi segera keluar.

"Kenapa dia?" tanya Taufan.

Dika hanya tertawa.

"Dikerjai anak pak Richard habis-habisan. Katanya Ardi terlalu kaku, tidak punya kehidupan."

Trisya masuk ke mobilnya sambil tertawa. Tiba-tiba Ardi masuk ke dalam mobil itu dan duduk di sampingnya.

"Bang Ardi?"

"Bercandamu sudah kelewatan Trisya!"

"Maksudnya?"

"Mungkin Robby atau siapapun bisa kamu permainkan.."

Trisya memandang Ardi.

"Kamu tidak?" tanya Trisya.

Ia tertawa.

"Ini tidak lucu, Trisya!"

"Wah, saat marah kau ternyata menakutkan."

"Ada apa denganmu?" tanya Ardi. "Ada sesuatu yang terjadi yang tak bisa kamu katakan pada ayahmu?"

"Ayahku sudah meninggal, bang.. Dia bunuh diri karena dosanya padaku."

"Papa kamu?"

Trisya memandang Ardi.

Ia meraih sesuatu dari dalam tasnya.

Menunjukkan pada Ardi.

"Test pack?" tanya Ardi.

"Lihat garisnya.."

Kening Ardi berkerut.

"Kamu hamil?"

"Sepertinya.."

"Bapak tahu?"

"Belum.."

"Kenapa tidak bicara?"

"Kalau bicara memangnya apa yang bisa dia lakukan?"

Ardi terdiam.

"Maaf.. Aku mengusikmu, bang.. Aku tidak tahu mau bicara pada siapa. Tidak tahu mau melakukan apa.. Stress sendiri, mikir sendiri.."

"Tetap harus dibicarakan, Trisya.."

"Harus mencari waktu yang tepat.."

"Nanti perutmu semakin besar".

"Apa aku minta Robby menikahiku saja ya? Mumpung dia masih mencintaiku".

"Jangan.. Dia sudah memutuskan untuk melamar Lizzie.."

"Aku bodoh sekali ya.." Trisya tertawa.

"Bukan bodoh.. Kamu terlalu terobsesi pada dendam dan cinta yang salah."

"Aku pulang," pamit Trisya. "Sekali lagi, maaf sudah mengganggu abang.."

"Tidak apa-apa.." Ardi keluar dari mobil Trisya.

"Hati-hati, jangan banyak pikiran saat mengemudi," pesan Ardi.

"Terimakasih ya bang.."

Ardi melambaikan tangan sebelum Trisya meninggalkan tempat itu.

"Hamil?" gumam Ardi.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.