Chapter 4: 4
Keesokan paginya.
Udara Elvaria terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak dingin. Tapi... sepi.
Sugi duduk di ruang tamu penginapan Aravan's Silence, sambil memandangi secangkir teh herbal yang mengepulkan uap tipis. Di hadapannya, seorang elf lelaki tua dengan jubah panjang hijau berbicara pelan namun jelas.
"Seraphina El'Thalyn... adalah pewaris tunggal Klan Elvaria Selatan. Dulu dia terkenal lembut dan ramah. Tapi sejak pertunangan politiknya gagal dan tunangannya dibunuh oleh pembunuh bayaran... dia berubah."
Sugi mendengarkan dengan seksama, matanya menyipit.
"Sejak saat itu, dia menolak semua kontak fisik. Bahkan sentuhan teman. Dia jadi ksatria suci... dan menyatakan hidupnya hanya untuk menebus 'dosa rasa'. Katanya... cinta itu racun yang membunuh logika."
"Dan apakah dia... pernah terlihat tertarik pada siapa pun lagi?" tanya Sugi.
Elf tua itu tertawa pelan, getir. "Tak pernah. Bahkan pangeran dari Kerajaan Timur ditolaknya mentah-mentah."
Sugi menyandarkan punggung, menatap langit-langit akar penginapan.
"Tertutup. Beku. Tapi bukan mati."
---
Di sisi lain pasar, Lira berjalan sendirian, tapi matanya tajam memperhatikan arah penginapan.
Dia melihat Sugi keluar beberapa menit kemudian, menyapa beberapa elf wanita muda, berbicara sebentar... lalu berjalan menuju taman pusat, tempat Seraphina sering terlihat.
Lira mengepalkan tangan. Ada bara api yang perlahan menyala dalam dadanya.
"Jadi sekarang... kau mulai menyelidikinya…"
---
Di bawah pohon bercahaya kuning keemasan, Seraphina berdiri seorang diri, seperti biasa. Rambut peraknya tergerai, dan zira'ah putihnya bersih sempurna. Ia seperti lukisan dewi perang, dingin dan tak tersentuh.
Sugi berjalan perlahan, tak membuat suara, hingga akhirnya berdiri sekitar dua langkah darinya.
"Aku penasaran," ucapnya pelan.
Seraphina tak menoleh. Tapi suaranya terdengar. "Tentang apa?"
"Kenapa kau terus berdiri di tempat yang sama setiap hari?"
Seraphina diam sejenak, sebelum menjawab. "Karena ini tempat terakhir aku merasa damai."
Sugi mengangguk kecil. "Damai, tapi sendirian. Tak bosan?"
"Aku sudah berhenti merindukan kebisingan. Kebisingan adalah awal dari kekacauan."
Sugi mengangkat alis. "Lalu bagaimana dengan kehangatan?"
Seraphina menoleh pelan, untuk pertama kalinya... menatap langsung ke matanya.
Tatapan itu tajam. Tapi tak sekeras kemarin.
"Apa yang kau tahu soal kehangatan? Laki-laki dunia luar selalu berbicara tentang kehangatan untuk menutupi hasrat mereka yang kotor."
Sugi tersenyum tipis.
"Dan kau kira aku berbeda?"
Seraphina tak menjawab.
---
> [Sistem: Emosi Terpicu – "Rasa Ingin Menguji" Terbuka]
Catatan: Seraphina mulai menunjukkan reaksi emosional terhadap provokasi lembut. Jangan terlalu frontal. Tawarkan pengalaman emosional yang berlawanan dari trauma lamanya.
---
Sugi mengambil langkah mendekat. Satu langkah saja.
Ia menatap wajah Seraphina dari dekat.
"Kalau aku memang ingin mendekatimu... maka aku tak akan memintamu menyentuhku. Tapi... aku akan tinggal di sini. Diam. Sampai kau... memutuskan menoleh sendiri."
Seraphina mengerjapkan mata, sedikit bingung—ada kilatan kecil dalam iris birunya. Tapi ia cepat memalingkan wajah dan melangkah pergi, jubahnya berkibar.
Tapi langkahnya... sedikit ragu kali ini.
---
Dari balik salah satu dinding akar tinggi di taman itu, Lira mengintip. Tubuhnya menggigil bukan karena dingin, tapi karena perasaan yang tak bisa ia tumpahkan.
Ia melihat semuanya. Tatapan Sugi. Tatapan Seraphina. Keheningan di antara mereka yang lebih dalam dari ciuman.
"Apakah... ini yang disebut ikatan jiwa juga? Tapi bukan denganku?"
Air matanya menggantung di kelopak mata, tapi ia menahannya.
---
Sugi pulang agak larut. Saat ia membuka pintu kamar, lampu hijau di sudut ruangan menyala lembut. Lira duduk di atas ranjang, hanya mengenakan kemben tipis dari kain elf.
Matanya... sedikit merah.
Sugi masuk perlahan, menutup pintu.
"Lira…"
"Diam. Malam ini... kau milikku. Sepenuhnya. Sampai tubuhmu tak bisa bergerak lagi."
Sugi tak bicara. Ia hanya melempar pakaiannya... dan merangkak ke ranjang.
---
Lira mencengkeram rambut Sugi dan menariknya ke dadanya. Tubuhnya memanas, bukan karena nafsu semata, tapi karena luka yang ingin ia tutupi dengan ciuman.
Sugi mencium lehernya, lalu dada, lalu turun ke perut hingga…
desahan panjang meledak di udara
Dia menjilati, menyedot, menggigit klitoris Lira perlahan-lahan, membuat tubuh gadis itu melengkung dan mencakar kasur akar hidup itu dengan kuku tajamnya.
"Ahh… haaa… S-Sugi—dalam... lidahmu masuk…!"
Tangannya mencengkeram kepala Sugi, mendorong lebih dalam ke lipatan basah yang membara.
Sugi memasukkan dua jari ke dalam, mengocok maju mundur seiring lidahnya memutar dengan gerakan tak berirama—liar, penuh amarah, dan cinta yang rusak.
"AAH!!"
Lira meledak. Cairan hangat membanjiri wajah Sugi. Tapi ia tak berhenti. Ia ingin membuatnya lemas. Lira harus tahu—bahwa di antara semua wanita, hanya Lira yang bisa membuatnya melupakan misi.
---
Setelah klimaks keempat, Lira hanya bisa tergolek, mata separuh terbuka, napas pendek dan dada naik turun cepat.
Sugi mencium keningnya. "Maaf kalau aku menyakiti hatimu."
Lira menatapnya tanpa kata... lalu menarik kepala Sugi ke dadanya dan membiarkannya tidur di sana.
---
> [Sistem: "Koneksi Emosional Lira" diperkuat]
[Efek Baru Terbuka: "Siklus Perlindungan Jiwa" – Lira akan melindungi MC secara spiritual dalam konflik emosional dengan heroine lain]
Keesokan harinya.
Kabut pagi menggantung di antara menara-menara kristal kota elf, melukis bayangan keperakan di dinding-dinding putih alami. Kota Elvaria tampak sunyi, tapi di balik keheningan itu... sesuatu mulai bergerak. Perasaan. Ketegangan. Getaran tak terlihat.
Sugi bangun lebih awal. Lira masih tertidur, tubuhnya menggulung seperti anak kucing yang habis dimanjakan. Wajahnya tenang, tapi ada kerutan halus di keningnya. Entah itu mimpi... atau kekhawatiran yang terbawa ke alam bawah sadar.
Sugi mengelus rambutnya perlahan, lalu mengenakan pakaian sederhana dan keluar. Udara pagi dingin menyambutnya, bersama aroma getah bunga elfwood yang baru mekar.
---
🌿 DI TAMAN LUAR MENARA AIR
Seraphina berdiri sendiri lagi. Tak pernah ada yang menemaninya lebih dari lima menit. Tapi Sugi memperhatikan, kali ini... dia datang lebih awal dari biasanya. Dan berdiri lebih lama.
Ketika Sugi mendekat, Seraphina tidak langsung menatap. Tapi kali ini, dia tidak juga menjauh.
"Apa kamu selalu datang sepagi ini?" tanya Sugi lembut.
Seraphina menjawab tanpa melihat, suaranya datar. "Kau terlalu sering muncul. Itu bisa dianggap mengganggu."
Sugi tertawa kecil. "Kalau aku menyebalkan, kenapa tidak usir aku sejak awal?"
Seraphina diam sejenak... lalu berbisik:
"Karena sebagian dari diriku ingin tahu... kenapa kamu belum juga menyerah."
---
> [Sistem: Perisai Emosional Retak – Seraphina mulai merespons secara sadar]
Tingkat Ketertarikan: 9% (+5)
Status: Curiosity dilapisi Trauma
---
Sugi mendekat satu langkah.
"Karena aku suka wanita yang kuat. Tapi lebih suka lagi wanita yang masih bisa terluka."
Seraphina menoleh sedikit. Tatapannya tidak tajam, hanya... tajam lelah. "Itu kata-kata licik. Penuh perangkap."
"Tapi jujur," balas Sugi cepat.
Seraphina tidak membalas. Tapi ia tidak pergi. Tidak pula mengalihkan pandangan. Untuk pertama kalinya... mereka benar-benar bertukar mata.
Dan di dalam tatapan itu, Sugi melihat rasa haus akan dipahami—yang ia sembunyikan dengan kebekuan.
---
🐾 KEMBALI KE PENGINAPAN – LIRA MENUNGGU
Ketika Sugi kembali, Lira sudah duduk di kursi sudut, mengenakan jubah tidur tipis berenda, dengan rambut masih basah dan tubuh segar seperti habis mandi bunga.
Dia tersenyum, tapi... tidak selebar biasanya.
"Kamu lama."
Sugi menghela napas. "Aku hanya... jalan-jalan."
Lira berdiri, mendekat dan memeluknya. Wajahnya menempel di dada Sugi.
"Aku mencium aroma bunga elfwood. Seraphina juga sering duduk di sana, bukan?"
Sugi terdiam. Dia tak tahu, apakah Lira hanya menebak... atau sudah tahu lebih dari yang ia kira.
Tapi sebelum ia sempat menjawab, Lira mencium dadanya pelan.
"Aku akan memelukmu lebih lama hari ini. Lebih lama dari siapa pun bisa."
---
> [Sistem: Peringatan Emosi – Lira merasakan instabilitas emosional. Potensi benturan dengan heroine lain meningkat.]
Saran: Tambahkan waktu emosional eksklusif untuk Lira dalam 12 jam ke depan.
---
Sugi mengangkat Lira dalam pelukannya, menggendongnya ke ranjang.
Tapi kali ini... tak ada erotika instan. Yang ada hanyalah keheningan penuh ketegangan.
Sugi menyelimuti Lira, mencium keningnya, dan tidur memeluknya erat. Dalam pikirannya, satu pertanyaan mulai muncul:
"Bisakah seseorang mencintai dua wanita... tanpa menyakiti keduanya?"
Hari Ketiga di Elvaria.
Langit masih biru pucat ketika Sugi berdiri di halaman luas depan aula meditasi para elf. Di sana, para pemuda dan pemudi elf sedang berlatih teknik gerakan energi alami: tarian lambat yang menyatu dengan aliran udara, seolah-olah tubuh mereka adalah dedaunan dalam angin.
Dan di tengah mereka—Seraphina.
Dengan pakaian pelindung ketat khas ksatria suci elf, tubuhnya melengkung, bergoyang dalam pola setengah lingkaran, menggerakkan pedang ringan yang memancarkan cahaya hijau muda. Setiap gerakan teratur dan tajam... namun indah, seperti koreografi dewa perang dan peri malam.
Sugi berdiri jauh, memperhatikan dari balik tiang besar akar kristal. Tapi Seraphina tahu ia ada di sana. Matanya tak melirik, tapi langkah kakinya bergeser sedikit ke arah tempat Sugi berdiri setiap kali ia berputar.
Itu bukan kebetulan. Itu pertanda.
---
Sesi latihan selesai.
Para elf muda membubarkan diri, sementara Seraphina mengelap keringat di lehernya dengan sehelai kain putih bersulam perak.
Saat Sugi menghampiri, dia tidak menghindar.
"Hari ini kamu tidak menghindariku," kata Sugi.
"Aku masih menimbang apakah kau benar-benar mengganggu... atau hanya keras kepala."
Sugi tertawa pendek. "Mungkin aku kombinasi dari keduanya."
Seraphina memandang ke arah mata air kecil di sudut taman latihan, lalu duduk di bangku batu di sampingnya. Gerakannya anggun tapi kaku—seperti bunga yang belum pernah disentuh cahaya matahari.
Sugi duduk perlahan di ujung bangku.
"Bolehkah aku tanya sesuatu?"
"apa itu, silakan."
Sugi tersenyum. "Kenapa kau memilih menjadi ksatria suci, padahal elf lain memilih jalan seni atau penyembuhan?"
Seraphina terdiam beberapa detik.
"Karena aku tahu tubuhku tak bisa menyembuhkan siapa pun... jika hatiku sendiri tidak bisa sembuh."
---
> [Sistem: Fragmen Emosi Terbuka]
Status: Seraphina mulai menyampaikan luka pribadi secara metaforis. Celah telah terbuka.
Saran: Jangan respons dengan simpati pasif. Ucapkan empati aktif dan berikan ruang aman.
---
Sugi menoleh penuh.
"Aku tidak tahu luka apa yang kau bawa... tapi aku yakin satu hal."
"Apa?"
"Bunga yang tumbuh di tanah beku... pasti akan mekar paling indah saat musimnya tiba."
Seraphina mengerjap. Untuk pertama kalinya, senyum tipis muncul di ujung bibirnya.
Tapi begitu cepat ia menyadari... ia berdiri mendadak.
"Berhenti bicara seperti itu. Kau... akan membuatku lengah."
Ia melangkah pergi cepat, tapi dalam gerakan itu—sehelai kain tipis pengelap keringatnya terjatuh dari pinggangnya. Sugi mengambilnya... dan untuk sesaat, jarinya menyentuh pergelangan tangannya.
Tubuh Seraphina menegang, namun tak mundur. Matanya terbuka lebar... dan napasnya tertahan.
Kulitnya hangat. Lembut. Tapi dingin.
"Maaf," kata Sugi pelan, menarik tangannya.
Seraphina merebut kain itu cepat, lalu pergi tanpa kata. Tapi wajahnya merah muda samar, seperti sinar senja yang nyaris tak terlihat.
---
🐾 DI PENGINAPAN – LIRA GELISAH
Lira duduk di ambang jendela, mengenakan kimono pendek transparan khas elf wanita penghibur, yang ia beli pagi tadi.
Saat Sugi masuk ke kamar, dia langsung bisa melihat sesuatu yang berubah. Aura Sugi terasa ringan... tapi rumit.
"Dia tersenyum padamu hari ini?" tanya Lira pelan.
Sugi mengangguk... lalu menyesalinya.
Lira berdiri. "Apakah itu membuatmu senang?"
Sugi ingin berkata "tidak". Tapi bibirnya menolak berbohong.
Lira mendekat, sangat dekat, hingga dada mereka bersentuhan.
"Aku tahu aku tidak bisa melarang hatimu... tapi tolong jangan biarkan aku jadi bayangan di belakangnya."
---
> [Sistem: Emosi Lira mencapai Batas Kepercayaan]
Peringatan: Jika tidak diberikan perhatian emosional atau sensual dalam 24 jam ke depan, loyalitas emosional Lira akan menurun.
---
Sugi mencium bibirnya—panas dan dalam.
Lira merespons, tangannya naik ke belakang leher Sugi, tubuhnya menggeliat seolah ingin menghapus jejak Seraphina dari kulit kekasihnya.
"Buktikan padaku," bisik Lira. "Kalau aku tetap nomor satu."
---
Sugi mendorong Lira ke dinding batu akar, tangan membelai seluruh lekuk tubuhnya. Kimono tipis itu melorot ke lantai, dan tubuh mulus Lira langsung disambut oleh lidah Sugi—dimulai dari leher, ke bahu, lalu ke dua puncak lembut yang mengeras begitu disentuh.
Lira menjerit kecil saat Sugi menghisap keras salah satu putingnya, lalu tangannya meraih batang yang menegang di balik celana.
"Masukkan... sekarang. Aku ingin kau merobekku dari dalam."
Sugi tidak menunggu. Ia mengangkat satu kaki Lira dan menusukkan batangnya langsung ke dalam liang basah yang sudah berdenyut dari tadi.
PLAKK!
PLAKK!
"AAH—! LEBIH DALAM! CEPATKAN!"
Desahan Lira menggema di kamar, tangannya mencakar dinding, matanya terbalik.
Sugi membanting pinggulnya dengan irama keras dan cepat, sampai tubuh Lira terpental di dinding. Setiap semburan masuk menimbulkan suara basah dan genangan di lantai.
Sugi menahan klimaksnya hingga Lira menjerit keempat kalinya, dan baru saat itu ia menyemprotkan seluruh isi tubuhnya ke dalam dengan dorongan terakhir yang keras dan brutal.
"AARGHH—AKU MENGGENANGI RAHIMMUUU!!"
---
Lira pingsan dalam pelukan, senyumnya setengah sadar, napasnya berat tapi damai.
Sugi mengangkat tubuhnya perlahan, membersihkan tubuhnya, dan membaringkannya ke tempat tidur.
---
Namun saat ia duduk di ujung ranjang, menatap jendela ke arah taman tempat Seraphina biasa berdiri…
hatinya terasa... terguncang.